— I’m sorry, i love you.

nacyn
3 min readOct 27, 2023

Tepat pukul 18.00 kami berada di rumah. Sengaja, aku yang meminta. Topik pembicaraan kali ini sedikit berat, aku tak mau seluruh dunia tahu lalu tertawa layaknya menonton komedi drama.

Suamiku, Nanami Kento, menggandeng lenganku menuju atas. Tepatnya balkon rumah bagian belakang, bertatapan lurus dengan mentari jingga yang kian menggelap ditelan bumi.

Hening, aku sibuk dengan pikiranku sendiri, juga ia yang diam membisu. Ku lirik dengan sudut mataku, ingin bersuara namun terasa kelu.

“Mas…”

Tak ada jawaban darinya.

Baiklah, kali ini aku yang akan berbicara. Berterus terang tentang bagaimana perasaanku selama ini, bagaimana aku yang tak kunjung berdamai dengan diri sendiri, dan bagaimana aku menyalahkan diri sendiri pada semua masalah.

“Aku, bersyukur punya kamu sebagai suami aku. Kamu yang hebat, kamu yang selalu bisa diandalkan, kamu yang perhatian, terus… Kamu juga yang menerima aku apa adanya,” kataku memulai tanpa menatapnya.

“Aku nggak pernah berharap pada siapapun lagi setelah apa yang aku alami di masa kuliah. Sampai orang tua kamu datang, dan meminta aku buat bersedia jadi istri kamu. Cuma, aku merasa rendah diri,”

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya. Menahan supaya air mata tak jatuh ke dasar. “Aku yatim piatu. Insiden kecelakaan tepat setelah aku wisuda, semuanya pergi menuju surga. Tersisa aku sendirian, mau berharap apa lagi? Mau bilang nggak adil juga percuma, kan?” lanjutku dan tersenyum kecut.

“Rasanya… Aku nggak mungkin hidup lagi, kalau kamu nggak datang. Maaf, aku minta maaf kalau belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Maaf kalau rasa cintaku ke kamu belum sempurna, dan maaf juga…”

Aku menyeka air mata yang tanpa sadar sudah jatuh membasahi pipi. “A-aku minta maaf, belum bisa menjadi istri yang baik buat kamu, mas.. Aku — ”

Sontak terdiam. Aku merasakan tubuhku menghangat, tepukan halus pertanda menguatkan itu membuatku menangis sejadinya. Aku menjerit dalam dekapannya, mengeluarkan segala perasaan yang sudah ku tahan selama ini.

Selang tujuh menit, aku melepas pelukan. Mengusap pipi yang basah, dan terkekeh saat melihat kemeja yang suamiku kenakan, basah karena air mata.

“Sudah lebih baik?” tanyanya.

Aku mengangguk, lalu mengacungkan dua jempol tangan. “Ya!”

Nanami Kento, pria yang terpaut lima tahun lebih tua, menangkup wajahku tak lupa mengelusnya sayang. Netranya yang indah, berhasil menghipnotis diriku yang lemah.

“Saya mau ngomong, tolong jangan potong pembicaraan ya.”

Sebagai jawaban, aku mengangguk.

“Kamu itu indah, kamu itu berharga, dan kamu adalah anugerah dari Tuhan yang saya syukuri. Nggak cuma kamu, saya lebih bersyukur kamu hadir dihidup saya. Kalau nggak ada kamu, sampai sekarang mungkin saya nggak mau menikah,” katanya diakhiri kekehan.

“Kamu nggak perlu merasa rendah diri, nggak perlu insecure atas hidup kamu, dan saya ingatkan lagi,”

Cup!

“Jangan pernah menyalahkan diri sendiri atas semua kesalahan. Karena, semua manusia punya bagian salahnya tersendiri.”

Jantungku rasanya jauh lebih berdebar, setelah kecupan singkat dibibir. Aku sudah tak peduli seberapa merah wajahku sekarang. Jika disandingkan dengan kepiting rebus, maka kali ini aku yang menang.

“Mas..”

“Sabar, jangan dulu,” suamiku kembali mengecup bibirku. “Saya nggak maksa kamu buat mencintai saya secara sempurna, nggak bisa instan. Semua butuh proses dan waktu. Karena itu, mencintai diri sendiri dulu, mencoba berdamai dengan semua hal yang dialami. Kalau sudah, saya yakin kamu bisa mencintai dan menerima orang lain yang hadir dalam hidup kamu.”

Aku hanyut dalam tuturnya yang menenangkan, tak ada unsur paksaan, tak ada unsur menggurui disana. Semua ucapannya itu… Tulus.

Suamiku, aku minta maaf, karena aku selalu menyalahkan diri sendiri. Sehingga, ketidakjelasan perasaanku padamu semakin larut.

Aku ingin mencintaimu lebih lama dari selamanya, lebih dalam dari Palung Mariana, dan lebih luas dari samudera.

“Kamu jangan pernah merasa nggak pantas dicintai. Kamu itu ibaratnya mutiara dalam kerang, seperti lagu sempurna menit pertama.”

Kau begitu sempurna, dimataku kau begitu indah..

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seluruh tutur kata yang ia ucapkan dengan lembut, membuat jantungku berdebar nyaris meledak.

“Mas…”

Aku mengecup bibirnya cukup lama. Lantas memeluk erat tubuh kekar yang menjadi sandaran hidupku.

I’m sorry, i love you.”

--

--

No responses yet